Pengertian Hukum Makruh dalam Ushul Fiqh

Al Makruh secara harfiyah bermakna sesuatu yang dibenci. Secara Ushul Fikih, makruh adalah

الكراهة هي خطاب الله تعالى الطلب للكف عن الفعل طلبا غير جازم.

Karahah adalah khithab/titah/firman Allah Taala yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas.


Sedangkan secara hukum/fikih, makruh adalah

ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله

Yakni suatu larangan yang jika ditinggalkan (untuk mengikuti perintah Allah) mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak mendapat siksa.

Makruh adalah kebalikan dari hukum mandub/sunnah.

Contoh: menolah-noleh dalam sholat, berkumur & menghirup air di hidung saat wudhu ketika puasa ramadhan, dll.

Makruh ditunjukkan oleh *nahi maqshud*, atau larangan yang tertuju pada perkara tertentu, baik melalui nash, ijma' & qiyas. Seperti makruhnya meninggalkan sholat tahiyatul masjid, berdasarkan larangan khusus dalam hadits:

إِذَ دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسُ حَتَّى يُصَلَّيَ رَكْعَتَيْنِ

"Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga mengerjakan shalat dua rakaat (tahiyatul masjid)".

Hukum Makruh diketahui melalui beberapa petunjuk antara lain:
:small_blue_diamond:1. Kalimat berita memiliki materi kata kerja menunjukkan atas makruh.
Contoh dalam hadits nabi:

ﺃَﺑْﻐَﺾُ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻄَّﻠَﺎﻕُ

“Perkara halal yang dibenci Allah Ta’ala adalah thalaq (perceraian)”. [Sunan Abu Daawud 3/505]

Atau seperti sabdanya pula:

*ﻭَﻳَﻜْﺮَﻩُ* ﻟَﻜُﻢْ ﻗِﻴﻞَ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻭَﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝِ ﻭَﺇِﺿَﺎﻋَﺔَ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ

“Dan Dia (Allah) pun membenci (memakruhkan) tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta”. (HR. Muslim no. 1715)

:small_blue_diamond:2. Sighat Nahy, disertai qarinah (indikator) yang mengalihkan pada makna makruh.
Contoh dalam firman Allah:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْــئَلُوْا عَنْ اَشْيَآءَ اِنْ تُبْدَ لَـكُمْ تَسُؤْكُمْ ۚ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu." (QS. Al-Ma'idah [5]: Ayat 101)
Larangan di atas disertai qarinah pada lanjutan ayatnya (Silahkan buka QS. Al Ma'idah [5]: Ayat 101)

Atau sabda nabi,

ﺩَﻉْ ﻣَﺎ ﻳَﺮِﻳْﺒُﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻻَ ﻳَﺮِﻳْﺒُﻚ (ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﺍﻟﻨَّﺴَﺎﺋِﻲُّ)

"Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu, menuju kepada sesuatu yang tidak meragukanmu” .(HR. Tirmidzi dan an-Nasa'i.

Larangan dalam hadits ini diarahkan pada hukum makruh karena sesuatu yang meragukan belum jelas statusnya, sehingga tidak bisa disifati dengan halal atau haram.

Sighot yang biasa dipakai antara lain: lafaz Mana'a (منع ما امر الله), bermakna mencegah, atau lafaz Laa Yamna' (لا يمنع), artinya tidak mencegah, atau lafaz Haata (هات) artinya jauhilah, dlsb.

:small_blue_diamond:3. Berbentuk sighat amr, tetapi ada qarinah yang menunjukkan bahwa perbuatan ini dimakruhkan (menurut sebagian ulama), seperti dalam QS. Al Jumu'ah yang pernah dibahas pada bab haram.

... وَذَرُوْا الْبَيْعَ ...

"...Dan tinggalkanlah jual beli..." (QS. Al Jumu'ah, [62]: Ayat 9).

Lafaz/sighot yang dipakai dalam bentuk ketiga ini umumnya berbentuk فاجتنبوه, فكرهتموه, dlsb.

Jadi, perbuatan makruh dapat diketahui dalam bentuk kalimat berita (affirmative), perintah (command) maupun larangan (prohibition) yang menunjukkan pada bentuk makruh.

Mayoritas ulama (jumhur) menganggap makruh itu hanya satu. Sedang ulama madzhab Hanafi membagi makruh menjadi: makruh tanzih dan makruh tahrim.

1. Makruh Tanzih,
Yaitu perkara yang dituntut untuk ditinggalkan dengan perintah yang tidak tegas. Makruh Tanzih menurut Hanafiyah ini sama pengertiannya dengan makruh menurut Jumhur Ulama. Makruh Tanzih lawan dari sunnah/mustahab/mandub.

Contoh larangan Nabi untuk bersidekap (memasukkan jemari salah satu tangan ke jemari tangan yang lain) di dalam masjid.

Teks hadits:

ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﺄَﺣْﺴَﻦَ ﻭُﺿُﻮﺀَﻩُ ﺛُﻢَّ ﺧَﺮَﺝَ ﻋَﺎﻣِﺪًﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺸَﺒِّﻜَﻦَّ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓٍ

Artinya: Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.

2. Makruh Tahrim,
Adalah perkara yang dilarang oleh syariah dengan larangan pasti (jelas); berupa dalil dzanni wurud (dugaan kuat), seperti dalil berasal dari hadits Ahad atau Qiyas. Menurut Jumhur Ulama (selain Hanafiah) memasukkan makruh tahrim ke dalam hukum haram.

Contoh: Nabi SAW bersabda:

ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻊ ﺃﺧﻴﻪ ، ﻭﻻ ﻳﺨﻄﺐ ﻋﻠﻰ ﺧﻄﺒﺔ ﺃﺧﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺬﺭ .

"Orang muslim tidak halal membeli barang yang dibeli saudaranya dan tidak melamar wanita yang dilamar saudaranya (sesama muslim) kecuali setelah meninggalkannya". (HR. Muslim)

Hadits ini adalah hadits Ahad yang tingkat kepastiannya bersifat dzanni wurud (bukan mutawatir).

Perbedaan Makruh Tahrim & Makruh Tanzih antara lain:

1. Makruh Tahrim Hanafiyah = Haram menurut Jumhur.

2. Makruh Tanzih Hanafiyah = Makruh menurut Jumhur.

3. Makruh Tanzih adalah makruh yang lebih dekat ke arah mubah/boleh; sedangkan makruh tahrim adalah makruh yang lebih dekat ke arah haram.
4. Kebalikan Makruh Tanzih adalah Sunnah. Sedang kebalikan dari Makruh Tahrim adalah (lebih dekat kepada) Wajib.

5. Melakukan Makruh Tanzih tidak mendapat siksaan, melakukan Makruh Tahrim mendapatkan siksaan.

Seperti pembahasan sebelumnya, makruh tahrim secara bahasa adalah makruh menurut Hanafiyah, tetapi hakikatnya adalah haram menurut Jumhur. Dikatakan makruh, karena ia bersumber dari dalil yang zhonni wurud/tsubut (seperti hadits ahad dan qiyas); dan dikatakan haram karena larangannya bersifat tegas.

*Perbedaan Makruh Tahrim dengan Haram*

Hukum haram ditetapkan berdasarkan dalil qath'i tsubut¹ (sumber, arah dan maknanya pasti) yang tidak memungkinkan ditakwil; sedangkan makruh tahrim ditetapkan berdasarkan dengan dalil zhanni tsubut (sumbernya diduga kuat, dan memungkinkan diarahakan pada makna lain, melalui takwil).

Persamaannya adalah, antara makruh tahrim dan haram, sama-sama berdosa jika dikerjakan. Ini berbeda dengan makruh (tanzih) yang tidak mendapatkan dosa jika dilakukan.

Notebook:
¹ Dalil secara sumbernya dibagi: (1) Qath'i tsubut/wurud (sumbernya pasti, mutawatir, seperti: Al Quran & Hadits Mutawatir); (2) Zhanni tsubut/wurud (sumbernya diduga kuat pasti dan meyakinkan, tetapi tidak mutawatir, seperti: Hadits Ahad & Qiyas). Sedangkan dilihat dari penunjukannya, dalil dibagi menjadi: (1) Qath'i dilalah (petunjuknya tegas, tidak ada peluang takwil/tidak ada peluang bermakna majazi); (2) Zhanni dilalah (petunjuknya diduga kuat & meyakinkan, tetapi berpeluang untuk dilakukan takwil/bermakna majazi.

Istilah "makruh" seringkali digunakan untuk berbagai penyebutan/maksud, selain dari yang dimaksud dalam definisi makruh itu sendiri.

Terkadang istilah makruh bermakna:
  1. Haram, yakni menyebut "makruh" tetapi yang dimaksud adalah haram.
  2. Sesuatu yang dicegah dengan pencegahan tanzih (pembersihan, tidak menyebabkan dosa bagi pelaku). Inilah yang dikehendaki ketika lafaz "makruh" diucapkan, yakni diarahkan kepada makna makruh tanzih.
  3. Meninggalkan hal yang lebih utama. Yakni menyebut "makruh", tetapi yang dikehendaki adalah hukum khilaful aula. Contoh: meninggalkan sholat dhuha, meninggalkan mandi jumat sering dikatakan makruh, karena meninggalkan sesuatu amalan yang utama/sunnah. Padahal yang benar, meninggalkan sesuatu yang sunnah dinamakan khilaful aula, bukan makruh. Karena, "makruh" terdapat suatu larangan yang dituju, seperti larangan banyak bertanya, larangan menyia-nyiakan harta, dll. Sedangkan "khilaful aula" itu tidak terdapat suatu larangan yang dituju, seperti tidak ada larangan meninggalkan sholat dhuha, tidak ada larangan meninggalkan mandi jumat, dll.
  4. Sesuatu yang masih terdapat "syubhat" dalam keharamannya. Seperti daging hewan buas, atau sedikitnya nabidz (minuman keras dari selain perasan anggur)