Pengertian Hukum Wajib dalam Ushul Fiqh

"Wajib" atau "wujub" dalam bahasa memiliki sinonim dengan kata "al tsubut" atau "al luzum" (artinya tetap atau positif), atau "al suquth" (artinya gugur).


Secara istilah, setidaknya memiliki makna:

الواجب شرعا هو ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه.

"Wajib adalah suatu perbuatan jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa".

Dalam pengertian lain, wajib bermakna,

الواجب شرعا هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا جازما.

Wajib menurut syara' adalah apa yang dituntut oleh syara' kepada mukallaf untuk dilakukan dengan tuntutan keras.

Atau

الإجاب هو خطاب الله تعالى الطالب للفعل طلبا جازما.

Ijab (Wajib) adalah khithab Allah (firman Allah) yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

Jika disimpulkan, wajib adalah khithab yang menuntut dilakukannya sebuah perbuatan selain mencegah, dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan atau tidak boleh ditinggalkan.

Para ahli ushul bersepakat bahwa wajib itu dapat diketahui melalui beberapa petunjuk, diantaranya:

:small_blue_diamond:a. Melalui petunjuk lafaz itu sendiri, yang berbentuk:

1) Kata Amr (kata perintah), seperti firman Allah SWT:

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

"...dan laksanakanlah sholat untuk mengingat Aku." (QS. Thaha: Ayat 14)

2) Berupa kata-kata yang memang menunjukkan makna wajib, seperti lafaz كتب dalam firman Allah SWT:

كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ

"...Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu..." (QS. Al-Baqarah: Ayat 183)

Juga lafaz فرض , seperti firman Allah:

فَاٰ تُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ؕ

"...berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban..." (QS. An-Nisa': Ayat 24)

3) Disertai dengan ancaman hukuman keras jika ditinggalkan. Seperti firman Allah SWT:

(٤٢) مَا سَلَـكَكُمْ فِيْ سَقَرَ
(٤٣) قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ

(42) "Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (Neraka) Saqar?"
(43) "Mereka menjawab, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan sholat," (QS. Al-Muddassir: Ayat 42-43)
:small_blue_diamond:b. Fiil Mudhari' yang diikuti lam amr, seperti:

ثُمَّ لْيَـقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah)." (QS. Al-Hajj: Ayat 29)
:small_blue_diamond:c. Melalui petunjuk Qarinah (tanda/indikasi) lain, seperti:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ؕ
"...Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana..." (QS. Ali 'Imran: Ayat 97)

Hukum Wajib berdasar sudut pandang Waktunya, dibagi menjadi:

*a. Wajib Muthlaq*
Adalah sesuatu yang dituntut syariat untuk dilakukan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Seperti: kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman atas pelanggaran sumpah. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan waktu, lalu melanggar sumpahnya, maka kafarat-nya bisa ditunaikan kapan saja.

*b. Wajib Mu'aqqat,*
Adalah kewajiban yang harus dilaksanakan mukallaf pada waktu-waktu yang sudah ditentukan/tertentu. Seperti: Sholat & Puasa Ramadhan.

Wajib Mu'aqqat dibagi menjadi:

1) Wajib Muwassa' (waktu lapang)
Yakni kewajiban dimana waktu yang tersedia lebih lapang daripada pelaksanaan kewajiban itu sendiri, sehingga memungkinkan dilaksanakan amalan yang sejenis pada waktu itu. Dengan adanya kelapangan waktu, maka mukallaf bisa memilih untuk mengerjakan kewajiban di awal, tengah atau akhir waktu. Contoh: Kewajiban Shalat 5 kali, masing-masing memiliki waktu yang lapang. Sehingga, orang yang melakukan shalat dzuhur, misalnya, ia bisa mendahului & mengakhiri dengan shalat sunnah, karena waktu shalat dzuhur cukup lapang (di Indonesia sekitar 2-3 jam, antara 11.30-14.30)

2) Wajib Mudzayyaq (waktu sempit)
Yaitu kewajiban dimana waktu yang tersedia hanya mencukupi untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Karena waktu yang sempit, hanya diperuntukkan pada amalan wajib, dan waktunya tidak bisa digunakan untuk amalan lain yang mendahului/mengakhiri. Dalam arti, amalan ini tidak ada waktu awal, tengah dan akhir waktu untuk memulai mengerjakannya. Contoh: Puasa Ramadhan, harus dan hanya ada pada bulan setelah Sya'ban dan sebelum Syawal, dilaksanakan selama sebulan penuh, mulai terbit fajar sampai matahari terbenam. Dan tidak bisa diundurkan, -misalnya dimulai dari waktu dhuha-, dan tidak bisa pula diakhirkan, -misalnya berbuka pada waktu ashar atau waktu isya'. Pada bulan Ramadhan, tidak bisa diselingi dengan puasa sunnah atau mengganti puasa yang tertinggal (qadha puasa).

3) Wajib Dzu Asy-syubhain (2 sisi waktu wajib)
Yakni kewajiban yang dipandang dari satu sisi mempunyai waktu yang lapang (muwassa'), tetapi pada sisi lain tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang (mudzayyaq). Contoh: kewajiban Haji, bisa dikerjakan pada tahun kapanpun, tahun lalu, tahun sekarang, atau tahun yang akan datang, karena waktunya lapang. Tetapi kewajiban haji tidak dilakukan berulang-ulang, pada tahun yang sama hanya sekali saja. Tidak mungkin seseorang melakukan haji 2 kali dalam tahun yang sama.

Wajib berdasarkan penetapan Kadar & Batasan, dibagi menjadi:

*a. Wajib Muhaddad*
Yakni suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan ukuran tertentu. Contoh: Jumlah rakaat shalat, jumlah wajib takaran zakat harta. Jumlah tersebut tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi.

*b. Wajib Ghairu Muhaddad*
Yakitu kewajiban yang ukuran dan jumlahnya tidak ditentukan syara'. Contoh: menafkahkan/menginfakkan harta di jalan Allah, saling menolong dalam kebaikan, dll.

Bahkan kewajiban ini terkadang diserahkan kepada para ulama dan umara untuk menentukan takarannya. Contoh: penetapan pajak, hukuman pidana (denda, penjara, mati) dalam jarimah ta'zir diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dan dalam hal ini pelaku dan penentu hukum harus berorientasi pada tujuan syara' dan bersifat adil.

Dibagi menjadi:

*a. Wajib 'Aini (personal),*
Yakni kewajiban yang dibebankan kepada setiap pribadi mukallaf (baligh, berakal) dan tidak bisa digantikan oleh orang lain. Contoh: Kewajiban sholat 5 waktu, puasa, menjaga agama, dll.

Jika wajib 'aini tidak mampu dilakukan sendiri, salah satunya karena telah meninggal dunia, padahal kewajiban tersebut belum terlaksana oleh mukallaf; apakah kewajiban itu bisa gugur digantikan orang lain? Dalam hal ini ada 3 pendapat :
:small_blue_diamond:1) Kewajiban berhubungan dengan Harta, seperti zakat, bayar utang, dll; ulama sepakat bisa digantikan orang lain.
:small_blue_diamond:2) Kewajiban ibadah mahdhah, seperti sholat & puasa, ulama berbeda pendapat: a) tidak bisa digantikan orang lain; b) bisa digantikan orang lain. Seperti dalam hadits: "Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya." (HR. Muslim: 1935).
:small_blue_diamond:3) Kewajiban dengan 2 dimensi, ibadah fisik & harta, seperti: haji. Ulama berbeda pendapat: a) Malikiyah & sebagian Hanafiyah sepakat, tidak bisa digantikan; b) Jumhur ulama sepakat, bisa digantikan. Seperti dalam hadits: "Ibuku bernadzar untuk haji, hanya terburu meninggal dunia, bolehkah aku menggantikan hajinya?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Silahkan, berhajilah engkau untuk menggantikannya, bukankah engkau sependapat sekiranya ibumu mempunyai hutang, bukankah engkau yang melunasi?" Wanita itu menjawab, "Ya." Lantas Nabi berkata: "Penuhilah hutang Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dilunasi hutangnya." (HR. Bukhari: 6771).

*b. Wajib 'Kifa'iy (komunal),*
Yaitu kewajiban yang dituntut terlaksana, tanpa memandang siapa pelaksananya; dan kewajiban ini dibebankan kepada seluruh mukallaf secara komunal. Jika sudah ada walaupun satu orang yang melaksanakan kewajiban ini, maka sudah mencukupi untuk menggugurkan kewajiban bagi mukallaf yang lain. Tapi jika tak seorangpun yang melaksanakan, maka dosa ditanggung oleh semua mukallaf. Contoh: Sholat jenazah, menjawab salam pada sebuah kumpulan manusia, belajar bahasa Arab, dll.

Wajib Kifa'iy bisa berubah menjadi wajib 'Aini apabila yang mampu bertanggungjawab dalam kewajiban tersebut hanyalah seorang saja. Contoh: Menolong orang yang tenggelam di laut, danau atau sungai adalah wajib kifa'iy, selama kejadian itu disaksikan oleh banyak orang mukallaf. Akan tetapi, dari semua mukallaf yang menyaksikan itu, hanya satu orang saja yang bisa berenang. Maka, wajib kifa'iy yang dikenakan kepada sejumlah orang yang menyaksikan berubah menjadi wajib 'ain bagi orang yang pandai berenang saja. Contoh lain adalah, bila di suatu desa hanya ada seorang dokter, maka untuk melayani kesehatan masyarakat menjadi wajib 'aini bagi diri dokter yang hanya seorang tersebut.

Bagi orang yang tidak melaksanakan wajib kifayah secara langsung, hendaknya ia mendukung pelaksanaan wajib kifayah, baik dengan materi atau menciptakan suasana yang kondusif, dll demi lancarnya pelaksanaan wajib kifayah tersebut.

Dibagi menjadi:
*a. Wajjb Mu'ayyan (tertentu)*
Yakni kewajiban yang sudah tertentu, tanpa ada hak pilih & hak tawar. Seperti: Shalat & puasa.

*b. Wajib Mukhayyar (hak pilih) atau Mubham (tersamarkan)*
Yakni, sesuatu yang dituntut oleh syara' secara tersamarkan di antara beberapa pilihan yang telah ditentukan, seperti salah satu dari bentuk kafarat bagi pelanggar sumpah (QS. Al Maidah, 3: 89); kafarat bagi muslim yang berjimak saat berpuasa di siang bulan ramadhan.

والأصح ترادف الفرض والواجب، كالمندوب والمستحب والتطوع والسنة والخلف لفظي.

"Menurut pendapat Ashah (lebih valid), fardhu dan wajib adalah dua lafaz semakna. Seperti lafaz mandub, mustahab, tathawwu' & sunnah. Perbedaan tersebut sebatas retorika lafaz" (Lubb Al Ushul).

Dalam redaksi Jam'u al Jawami disebutkan,

والفرض والواجب مترادفان خلافا لأبي حنيفة وهو لفظي.

"Fardhu dan wajib adalah dua lafaz semakna; ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dan perbedaan pendapat tersebut sebatas khilaf lafaz".

Ulama berselisih pendapat mengenai pemaknaan dan penggunaan istilah fardhu & wajib.
1. Menurut kalangan Hanafiyah, antara wajib & fardhu keduanya berbeda. Wajib adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni ats tsubut (hadits ahad & qiyas madhnun), dan fardhu adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil qath'i ats tsubut (Al Quran & Hadits Mutawatir).

Contoh: hukum wajib membaca fatihah dalam sholat berdasarkam dalil zhonni, berupa hadits ahad riwayat Bukhari-Muslim.

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب.

"Tidaklah sempurna sholat seseorang yang tidak membaca fatihahnya Al Quran".

Konsekuensinya, seseorang sholat tanpa fatihah, tidak membatalkan sholat (baca: sah), tapi berdosa.

Sedangkan contoh hukum fardhu adalah membaca Al Quran dalam sholat berdasar dalil qath'i, berupa ayat Al Qur'an:

فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِ ؕ

"...maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an..." (QS. Al-Muzzammil: Ayat 20)

2. Menurut kalangan Syafiiyah, yang merupakan pendapat Ashah (lebih valid), yakni antara fardhu & wajib adalah sinonim, bermakna khithab Allah yang menuntut dilakukannya sebuah pekerjaan dengan tuntutan bersifat mengharuskan. Ini artinya, dalam contoh diatas, membaca Al Quran yang dimaksud dianggap sebagai kesempurnaan sholat adalah bacaan al fatihah. Artinya, akan menjadi batal (baca: tidak sah) seseorang yang sholat tanpa disertai dengan membaca Al Fatihahnya Al Quran.

Akan tetapi kedua pendapat tersebut tidak mempengaruhi eksistensi penyebutan silang pendapat pendapat bersifat retorika lafaz. Karena persoalan tersebut sudah masuk dalam ranah fiqhiyyah yang tidak dipersoalkan dalam penamaan fardhu dan wajib dalam pembahasan ini¹.

Disamping wajib & (1) fardhu (الفرض), nama lain keduanya adalah:

(2) Al Laazim (اللازم)
(3) Al Muhattam (المحتم)
(4) Al Maktuub (المكتوب)

-----
¹Jalaluddin Al Mahalli, Syarh Jam'i Al Jawami, vol. 1, hlm. 88-89. Juga, Prof. Dr. KH. Sahal Mahfudz, Thariqah al Hushul, vol. 1, hlm. 29.